Tuesday, August 10, 2010

Puisi dalam Pagelaran Teater Hatta..

 Linda Hevira
   dalam Puisi

Tanya Anak Kepada Ibunya
oleh : David Krisna Alka.
....Juni 2002

Ketika kebesaran seorang pahlawan terkubur oleh mesin yang membuat kabur sejarah anak negeri:
Seorang anak bertanya kepada ibunya, "Siapa itu Bung Hatta, Bu?"
"Wakil Presiden kita yang pertama."
"Setelah itu apalagi , Bu?"
"Pahlawan Proklamasi."
"Cuma itu, Bu?"
"Ya, "jawab seorang ibu yang asyik nonton telenovela di layar televisi.

Seluruh makam pahlawan banjir air mata oleh tangisan yang terkuburkan.
Sungguh tragis arti sebuah penghargaan.

Hatta 
oleh Cunong Nunuk Suraja
...2002

terusap tersayat pada dinding perpustakaan yang lengang
kusibakkan lembar-lembar lusuh sikapmu akan kemiskinan

seratus buku menumpuk seratus kemiskinan menghujam
dalam pekik lirih akan lindap bayangmu.

Wednesday, August 4, 2010

Peringatan 108 tahun Lahirnya Bung Hatta

KOLABORASI TEATRIKAL, TARI DAN PUISI
Narator : Linda Hevira
Dari buku : Kumpulan Puisi "Bung Hatta dalam Puisi"
oleh : Panitia Daerah Peringatan 108 tahun Bung Hatta Sumatera Barat
  • Agus Syafaat. Aksara yang berpijar puisi yang berjudul : Guru Hatta
  • Pada Saatnya Membaca Hatta oleh : Angger Jati Wijaya
  • Bung Hatta adalah Bung Hatta oleh : Endang Supriyadi
  • Menatap Fotomu di Atas Pintu : Bagi Bung Hatta oleh Angger Jati Wijaya
  • Tanya Anak Kepada Ibunya oleh : David Krisna Alka
  • Cunong Nunuk Suraja berjudul : Hatta
    Pada Saat bangsa ini dilanda krisis multidimensi yang bertubi-tubi, 
sejak tiga belas tahun berlalu sampai kini, bahkan nyaris kehilangan harga diri.
Sepertinya rindu berat menghimpit dada kita, kepada sosok , seorang tokoh bangsa, bernama  "Bung Hatta".

   Pada saat bangsa ini dilanda gegar budaya, bahaya potensial yang tak lagi mempunyai jarak dengan kita pewaris pusaka, telah menjelma menjadi penyakit akut "Neurosisi Hati Nurani" Semakin ada "Kau" di pelupuk mata kami.

Dengan puisi, terungkap kata-kata jujur
Dengan puisi, kami bersenandung
Dengan puisi, kami berpuisi, tuk "Kembalikan Hatta kepada kami!"

Duhai Negriku, Lahirkan Hatta-Hatta kecil di Pertiwi ini
Agar kami pewarismu, selalu ada di bawah, Awan Pekertinya.

_____________________________
Komentarku : 
Setiap tahunnya Bukittinggi selalu memperingati hari lahirnya Bung Hatta yang dihadiri oleh Keluarga Bung Hatta, seperti beberapa tahun yang lalu : Mutia Hatta dan Gemala Hatta hadir dalam peringatan ini.
Acara yang didukung oleh potensi anak negri Bukittinggi yang berkolaborasi dalam Pagelaran Seni  Bernuansa Perjuangan di Gedung Istana Negara Tri Arga. 7 Agustus 2010.

Thursday, February 4, 2010

Linda Hevira Image: Di Bawah Bayang-bayang Kartini

Linda Hevira Image: Di Bawah Bayang-bayang Kartini

oleh : Linda Hevira

Esok hari masih harus kujelang
Lambat terasa bergulir...
Waktu yang tak pernah menunggu
Membuatku terhenti , termangu

Kuterngiang sebuah riwayat sendu
Tentang seorang pahlawan wanita
Berjuang lewat tulisan dan pemikiran
karena terkurung dalam aturan
Sebuah kearoganan pemimpin zaman

Dari perjalanan panjang kaum perempuan
Akhirnya berhasil memposisikan diri di pemerintahan
Membuka mata semua insan
Bahwa wanita pun pantas untuk diperhitungkan

Namun semua itu tak cukup untuk diperbincangkan
dalam seminar, dialog dan tulisan-tulisan

Walau berada di bawah bayang-bayang Kartini
Cukuplah untuk menginspirasi
Tapi saatnya terbuka kini...
Seribu jalan untuk mempelopori
Sejuta Kartini yang berpotensi
di seluruh jagat alam raya ini.

Jangan hanya menunggu, mengeluh apalagi menuntut.
Mari berkarya perempuanku
makin banyak engkau berbuat
Makin banyak yang engkau dapat.
Karena orang yang tak banyak berbuat apa-apa
maka wajar saja mereka tak mendapatkan apa-apa.

                                                                                                        Bukittinggi, April 2009

Linda Hevira Image: Dalam Kenanganmu IBU

Linda Hevira Image: Dalam Kenanganmu IBU

Tolong........

Tolong........

Linda Hevira Image: KASUS BANK CENTURY , LAMA AMAT......?

Linda Hevira Image: KASUS BANK CENTURY , LAMA AMAT......?

Wednesday, February 3, 2010

Puisi Islami


DOA HUJAN SISA-SISA
Karya : Rinaldi Wahyudi

Katakanlah Allah itu Satu
Allah tempat mengadu
Tiada beranak dan diperanakkan
Tiada satupun punya sekutu

Mulai deras ayat itu terlantun
Dikota yang menjaring matahari
Dan deru deram kendaraan melintas
Mengeringkan hujan sisa-sisa
Yang masih tak tuntas
Beristirahat di pucuk-pucuk daun
Di taman kota
Seperti terjaga dari mimpi indahnya
Untuk menunaikan tawa yang dipaksa

Kemana lagi kami akan mengalir
Setelah asmara semalam hanya temaram
Hingga fajar mengakhiri kelam
Dan matahari menjilati kami tanpa henti

Hujan sisa-sisa di pucuk-pucuk daun
Dengan anggun melantunkan rindu
Menuju yang Satu
Mengalir, menguap, meresap dalam satu tuju
Kaki-kakinya yang tajam
Menghujam ke bumi kelam
Sayap-sayapnya yang ringan
Berkumpul menjadi awan
Dan siapkan tentara-tentara hujan

Di kota yang menjaring matahari
Dan deru deram kendaraan yang melintas
Memadu jadi satu
Hujan sisa-sisa di pucuk-pucuk daun
Jadi satu terbangun
Dan perlahan kidung-kidung terlantun

O yang satu
Satu batu…..retak
Satu lagu …rusak
Satu danau ...beriak
Satu tugu…tertabrak
Pemabuk yang bilang kau punya anak

Hujan sisa-sisa mengeluh mengesah
Dalam rusuh dan gelisah yang resah
Karena asmara semalam hanya temaram
Tiba-tiba Tuhan bertitah “pulanglah kelam
Karena matahari sudah lama terbenam”

O...kau yang Satu satu-Mu
Tak bermata, mataMu
Tak satu, satuMu
Tak bertelinga, telingaMu
Tak satu, satukan
Kami dalam rinduMu

Komentarku :
Puisi ini sangat indah dan bernuansa Islami tauhid.
Jikamembancanya didiringi dengan musik latar yang lembu…secara otomatis suara dan nada serta intonasi kita akan terhanyut didalamnya.
Suatu ketika saya perah terkesan dengan seorang pemain teater yang membacakannya…
Sungguh menarik..apalagi ketika ia sampai kepada kalimat…"dan siapkan tentara-tentara hujan!" Tegas dan penuh penekanan yang dramatic…


70-an
Karya : Abrar Yusra

Lapar aku, aku lapar. Ku makan buah segala buah
Segala padi segala ubi
Ku makan sayur segala sayur, segala daun segala rumput
Ku makan ikan, ketam, udang, Kerang,
Ku makan kuda,
Ayam, sapi, kambing, babi, tikus
Bekicot
Aku lapar, lapar lagi!
Ku makan angin
Ku makan mimpi
Ku makan pil
Ku makan kuman
Ku makan tanah
Ku makan laut
Ku makan mesiu
Ku makan bom
Ku makan bulan
Dan bintang dan matahari!
Ku makan mimpimu
Rencanamu
Tanganmu, kakimu
Kepalamu
Astaga, kumakan tanganku
Dan kakiku dan kepalaku
Dan hah, ku makan kamu!

______________________________________________________________________
Komentarku :

Puisi ini juga sangat menarik.

Bagiku puisi ini lebih pas kalau dibacakan serius, tegas dan juga dengan ekspresi wajah dan intonasi suara rada metal.
Terkadang berkesan seperti orang gila dengan gerakan tangan yang menguatkan kata demi kata. Di dalam puisi ini terbersit makna bahwa manusia bahkan kita juga sama seperti yang digambarkan oleh puisi tersebut, memakan semuanya, bahkan memakan diri sendiri , keluarga atau juga memakan orang lain…
Nah..bagaimana dengan komentar anda…?
DEMI MEREKA YANG PERGI
Karya : Iyut Fitra


Kami hanya menghitung tanggal
Karena kekejian itu tak pernah lelah
Darah-darah menyembur tak kunjung kering
Di tangga-tangga mesjid, bahkan di atas bentangan sajadah
Mereka ciptakan malaikat lain
Untuk menurunkan maut demi maut

Lihatlah Ambon, Tuhanku!
Sepanjang malam, sepanjang jalan
Mereka bagi-bagikan tangis dan air mata
Setiap detiknya
Mereka bangun rasa curiga
Dengan dengki dan cemas
Orang – orang kehilangan tanpa lindungan
Meratap di bawah reruntuhan
Kubah-kubah yang hangus
Sehingganya
Kematian demi kematian
Lewat tanpa perkabungan

Lihatlah Ambon, Tuhanku!
Gagak-gagak terbang
Di hamparan langit pengungsian
Di mana dewa-dewa berdansa
Di atas duka lara
Malaikat yang datang
Bertanam di segala jantung-antung
Setiap kabarnya,adalah api pertikaian
Gelora kemarahan yang kian bergelombang
Menyelusup dan menghunus dada saudara-saudara kami
Hingga setiap hari, bendera hitam itu dikibarkan

Kami hanya menghitung tanggal
Dari jumlah yang tersungkur
Adalah mereka-mereka yang berjihad
Pergi dan tak akan pernah pulang kembali.

_____________________________________________________________________
Komentarku :  

Saat menjadi juri…salah satu puisi yang banyak dibacakan oleh peserta saat itu.
Aku juga pernah membacakannya dalam perlombaan dan menjadi 5 besar.
Berikut pengarahan yang kuberikan :
1. Baca puisi terlebih dulu, pahami dan berikan pemenggalan2 yang tepat saat membacanya
2. Kemudian mulai mebacanya dengan gerakan menyertakan mimik wajah, artikulasi yang jelas, serta body language yang mendukung kata demi kata.
3. Yakin dengan apa yang ucapkan.
4. Tatap mata penonton dengan tajam, atau focus terhadap sesuatu
5. Suara dikeraskan dan keluar dari perut.
6. Ada saatnya suara perlu dilambatkan atau dipelankan.
7. Jangan takut jelek saat berkekspresi tapi jangan terlalu berlebihan
8. Usahakan latihan di depan cermin atau rekam lewat video, evaluasi sendiri
9. Usahakan Harus hafal dan tidak boleh ada satu kata yang hilang saat membacanya.
10. Walaupun harus hafal, tapi puisi tetap dipegang karena acara lomba baca puisi.
70-an
Karya : Abrar Yusra

Lapar aku, aku lapar. Ku makan buah segala buah
Segala padi segala ubi
Ku makan sayur segala sayur, segala daun segala rumput
Ku makan ikan, ketam, udang, Kerang,
Ku makan kuda,
Ayam, sapi, kambing, babi, tikus
Bekicot
Aku lapar, lapar lagi!
Ku makan angin
Ku makan mimpi
Ku makan pil
Ku makan kuman
Ku makan tanah
Ku makan laut
Ku makan mesiu
Ku makan bom
Ku makan bulan
Dan bintang dan matahari!
Ku makan mimpimu
Rencanamu
Tanganmu, kakimu
Kepalamu
Astaga, kumakan tanganku
Dan kakiku dan kepalaku
Dan hah, ku makan kamu!


Komentarku :
Puisi ini juga sangat menarik.

Bagiku puisi ini lebih pas kalau dibacakan serius, tegas dan juga dengan ekspresi wajah dan intonasi suara rada metal.
Terkadang berkesan seperti orang gila dengan gerakan tangan yang menguatkan kata demi kata. Di dalam puisi ini terbersit makna bahwa manusia bahkan kita juga sama seperti yang digambarkan oleh puisi tersebut, memakan semuanya, bahkan memakan diri sendiri , keluarga atau juga memakan orang lain…
Nah..bagaimana dengan komentar anda…?
KEPADA PERSADA TERCINTA

Di antara bangunan megah nan indah,
Seorang bocah bertanya kepada sang ayah,
Seperti apakah itu sawah?

Di antara deru debu asap mobil,
Anak kecil menangis menggigil,
Seperti apakah itu kancil?

Di antara gelegar pabrik hingar bingar,
Ada pelajar bertanya kepada sang pengajar,
Seperti apakah itu belukar?

Di antara lintang pukang jalan layang,
Anak layang penyapa orang,
Seperti apakah itu kijang?

Di anatara lebat rimba beton,
Si Anton bertanya kepada Pak Ton,
Seperti apakah itu pohon?

Di antara bubung gedung melambung,
Si jangkung hatinya murung,
Seperti apakah itu burung?

Tiada jawaban,
Tiada penjelasan,
Hanya helaan

Lihatlah!
Lahan bangunan megah gilas petak sawah
Lihatlah!
Laju deru mobil usir kawanan kancil
Lihatlah!
Limbah pabrik hingar bingar libas rimbun belukar
Lihatlah!
Lintang jalan layang halau kijang lintang pukang
Lihatlah!
Lebat rimba beton basmi rimba pohon
Lihatlah!
Lambung bubung gedung bikin burung bingung

Aduh sayang,
Inilah Nusaku sekarang!
Inikah Nusaku mendatang?

_________________________________________________________________
Komentarku :

Saat pertama kali kudengar puisi ini dari seorang teman (penyiar radio lain). Terasa sekali muatan idealis dan ironis yang dapat kita lihat sekarang di kota-kota besar di Indonesia.
Dengan intonasi suara yang mantap, vocal yang jelas, puisi ini mampu membuat pendengarnya menjadi paham terutama cocok sekali kalau dibacakan di depan pejabat atau oknum2
tertentu…hmh…

Puisi favoritku


DOA HUJAN SISA-SISA
Karya : Rinaldi Wahyudi

Katakanlah Allah itu Satu
Allah tempat mengadu
Tiada beranak dan diperanakkan
Tiada satupun punya sekutu

Mulai deras ayat itu terlantun
Dikota yang menjaring matahari
Dan deru deram kendaraan melintas
Mengeringkan hujan sisa-sisa
Yang masih tak tuntas
Beristirahat di pucuk-pucuk daun
Di taman kota
Seperti terjaga dari mimpi indahnya
Untuk menunaikan tawa yang dipaksa

Kemana lagi kami akan mengalir
Setelah asmara semalam hanya temaram
Hingga fajar mengakhiri kelam
Dan matahari menjilati kami tanpa henti

Hujan sisa-sisa di pucuk-pucuk daun
Dengan anggun melantunkan rindu
Menuju yang Satu
Mengalir, menguap, meresap dalam satu tuju
Kaki-kakinya yang tajam
Menghujam ke bumi kelam
Sayap-sayapnya yang ringan
Berkumpul menjadi awan
dan siapkan tentara-tentara hujan

Di kota yang menjaring matahari
Dan deru deram kendaraan yang melintas
Memadu jadi satu
Hujan sisa-sisa di pucuk-pucuk daun
Jadi satu terbangun
Dan perlahan kidung-kidung terlantun

O yang satu
Satu batu…..retak
Satu lagu …rusak
Satu danau ...beriak
Satu tugu…tertabrak
Pemabuk yang bilang kau punya anak

Hujan sisa-sisa mengeluh mengesah
Dalam rusuh dan gelisah yang resah
Karena asmara semalam hanya temaram
Tiba-tiba Tuhan bertitah “pulanglah kelam
Karena matahari sudah lama terbenam”

O...kau yang Satu satu-Mu
Tak bermata, mataMu
Tak satu, satuMu
Tak bertelinga, telingaMu
Tak satu, satukan
Kami dalam rinduMu

Komentarku :
Puisi ini sangat indah dan bernuansa Islami tauhid.
Jikamembancanya didiringi dengan musik latar yang lembu…secara otomatis suara dan nada serta intonasi kita akan terhanyut didalamnya.
Suatu ketika saya perah terkesan dengan seorang pemain teater yang membacakannya…
Sungguh menarik..apalagi ketika ia samapai kepada kalimat…dan siapkan tentara-tentara hujan! Tegas dan penuh penekanan yang dramatic…


Tuesday, February 2, 2010

Puisi yang sering aku baca

BALADA SEEKOR BURUNG TUA
karya : Firdaus Rifa'i Al-Quraisy

 Di bumi yang terhampar luas
Awan senja mulai menutupi mentari
Seekor burung tua, terbang melintas
Kepakkan sayap yang lemah
Cari nafkah untuk anak tercinta

Si induk tua, bertarung dengan ganasnya alam
Sementara, si ibu terbaring letih
Lelah kelaparan
Pancaran matanya, sayu isyaratkan  makna

Makanlah wahai anakku
Bahagialah buah hatiku
Belajarlah engkau terbang
Kuasai alam semesta
Jadilah generasi yang kuat
Jangan kecewakan kami, orang tuamu

Si anak belajar terbang
Pindah dari ranting ke ranting rindang

Si ibu terbaring meregang nyawa
Gumpalan awan makin tebal
Menutup mentari penyinar pagi
Makin lama semakin tebal

Bumi gelap segelap alam si ibu
Mendadak terdengar lolongan serigala
si anak mendekap ibunya
si ibu diam..

Laparkah kau wahai ibu?
Letihkah engkau bunda tercinta?
Si ibu tetap diam..

Dari jauh terdengar gema suara
Wahai anak dari yang sudah tiada
Apakah kau akan menyia-nyiakan harapan ibumu?

Selamat tinggal nanda tercinta..

Si anak tersentak
Namun, sudah terlambat
Innalillahi wainna ilaihi raji'un

____________________________________________________________
Komentarku :
Puisi ini sering aku bacakan, baik saat lomba , atau saat menjadi juri saat menutup acara.
Kata-katanya menyentuh..begitu juga dengan ekspresi wajah dan intonasi suara maka puisi ini sangat mampumembuat penonton atau yang mendengarnya merinding.
Luar biasa...semoga kita dapat memahami dan mengambil hikmahnya..

Sulthan lomba baca puisi

BENDERA
oleh Taufik Ismail

Mereka yang berpakaian hitam
Telah berhenti di depan sebuah rumah
yang mengibarkan bendera duka
Dan masuk dengan paksa

Mereka yang berpakaian hitam
Telah menurunkan bendera itu
Di hadapan seorang ibu yang tua
"Tidak ada pahlawan meninggal dunia!"

Mereka yang berpakaian hitam
Dengan hati yang kelam
Telah meninggalkan rumah itu
Tergesa-gesa

Kemudian ibu tua itu
Perlahan menaikkan kembali
Bendera yang duka
Ke tiang yang duka


_______________________________________________________________________
Komentarku :

Saat itu Sulthan ikut lomba ketiga kalinya. Aku mengikutkannya supaya muncul rasa percaya diri dan berani tampil di depan umum. Disamping dia mau ikut karena mau dapat hadiahnya..he..he..maklum anak kecil..
Dengan pakaian baju putih celana hitam dan kacu merah putih yang diikat di atas kepala, nampak dia sudah mantap walau katanya sudah bosan terlalu lama mulai lombanya... Emang selalu begitu nak...
Komentar juri waktu selesai membacakan, suara Sulthan masih agak cadel. Walau ketegasannya sudah ada. Perkembangannya dari membaca puisi yang pertama kali di radio SK dulu sangat banyak sekali. Sudah ada gerakan tangan dan tidak banyak melihat teks.
Tapi ada satu kata yang tinggal dan tak terbaca. Dan ini katanya fatal sekali.
Sedih juga sich...tapi tetap semangat anakku...he..he..he..

Puisi pertamaku di Radio

DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN                       
                karya Taufik Ismail.

Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan 
Kemerdekaan negeri ini

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas air mata
Tetapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi 
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu

Pergilah-pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)

Tetapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sessaat)
Ibu relakan
Tapi jangan disaat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atatu dendam kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya
Orang itu

Niatkanlah menegakkan kalimat Allah
Di atas bumi kita ini
Dengan menegakkan keadilan
Dan kebenaran
Tanpa dendam dan kebencian
Kemudian lepaskanlah kesaksian pada Tuhan
Serta Rasul kita yang tercinta

Pergilah - pergi
Iwan, Ida, Adi
Pergilah - pergi pagi ini

(mereka telah berpamitan dengan ibu yang tua
beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
dan berangkatlah mereka bertiga.
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)

______________________________________________________________________________

Komentarku :
Membaca puisi tersebut dengan nada sedih, tegas, teguh dan pikiran yang jauh ke depan..seorang ibu..hanya bisa mendoakan anaknya saat turun ke jalan demonstrasi pada zaman lalu.
Jika dibacakan dengan suara agak tersekat pada akhir bacaan, seolah rela atau tidak rela melepas kepergian anaknya...Bisa saja hampir meneteskan air mata.
Di zaman sekarang ini, mungkin belum banyak orang tua yang rela saat melepas anaknya untuk pergi demonstran, saya melihat justru perang dan protes yang perlu kita lakukan terhadap permasalahan yang ada sekarang ini justru demonstran kepada diri sendiri, benahi diri, keluarga, famili, tetangga. Lihatlah yang tidak beres di dekat kita dulu, tegurlah kemenakan, tetangga, kepala pemerintah, departemen, siswa yang mulai keluar jalur. Dengan kekuasaan kita mulailah berbuat yang baik dan menjadi teladan yang baik.

Awal mula aku tertarik dengan Pembacaan Puisi...

Pada awalnya aku tidak pernah tertarik dengan puisi. Bagiku puisi itu lambang orang cengeng atau orang berontak dengan suatu keadaan yang sedang bergejolak dalam hatinya. (Jadi ingat puisi2 lamaku, termasuk yang diapresiasi oleh sebuah koran dan teman2ku saat kuliah dulu). Belum lagi puisi itu tidak punya irama, dan pembacanya menurutku seperti anak SD baca puisi saja. Selain itu pembaca puisi bagiku tidak pernah memperhatikan penampilan atau busana yang ia pakai. Coba kalau pembaca puisi memakai baju rapi atau manis seperti penyanyi. Pasti menarik. Baik yang kulihat di TV, sepandai apapun orangnya sama saja bagiku, belum ngeh...kecuali aku pernah tertarik dengan sebuah puisi yang dibacakan oleh seorang pemain film lama yang berjudul LUDAH...wow...amazing...
Sampai suatu ketika, saat itu aku mengajar di Pesantren Tarbiyah untuk pelajaran Fisika dan Kimia bagi anak2 SMP dan SMA.
Ternyata disana sedang diadakan lomba baca Puisi antar pelajar SMP dan SMA Se-SUMBAR dan kami para guru dipersilakan masuk menyaksikan lomba tersebut.
Awal masuk aku memperhatikan tata panggung dengan sorotan lampu yang redup dan dekorasi panggung yang mendukung. Seorang peserta sedang  membacakan puisinya. Aku berusaha memperhatikan kata2 yang diucapkannya, ekspresi wajah, sorotan mata, serta intonasi suaranya. Hmmh...kayaknya seru nich...
Kuperhatikan satu demi satu peserta dengan percaya dirinya membacakan puisinya yang selalu diakhiri dengan tepukan tangan yang meriah dari pendukung sekolah masing2. Wow...menyentuh dan luar biasa.
Saat itulah jiwa seniku memanggil sama seperti aku tertarik menjadi MC dulu, ternyata puisi jika dibacakan dengan sepenuh hati, artikulasi dan mimik yang ekspresif bahkan melebihi sebuah lagu atau ceramah agama sekalipun...wow menarik sekali.
Secara tak sadar aku jadi suka dengan puisi. Dan suatu ketika aku bertemu dengan seorang teman penyiar yang memang sudah sering menang lomba puisi dan juga sebagai juri. Dari situlah aku sering diajak untuk ikutan lomba dan menjadi juri yang pada akhirnya menjadi pemain theater. Bahkan anakku yang masih SD aku ajak untuk memperhatikan para peserta lomba dan belajar cepat dari pengalaman2 mereka. Dia juga suka membaca puisi di radio, TV lokal atau di perlombaan.






Puisi sebagai ajang melatih rasa percaya diri bagi para pelajar, juga melatih jiwa kita untuk mencerna kata demi kata, sehingga memang orang yang mempunyai jiwa senilah yang mampu melihat semua yang tersirat dari yang tersurat. Saat ini sudah banyak sekali pelajar yang tertarik dengan puisi.
Dan bagi seorang pemimpin yang mempunyai jiwa seni dia lebih bisa memahami dan mempunyai perasaan yang halus, serta cepat beradaptasi dengan perubahan, untuk sementara itu pendapat saya....