Monday, December 5, 2011

Di Negara Apa Aku Ini..?

Di Negara Apa Aku Ini..?
oleh : Linda Hevira

Ketika kejahatan sudah menjadi barang harian..
Ketika kebaikan mulai terabaikan..
Si baik makin menghilang..
Si buruk makin menjulang..

Kebiasaan baik tergilas zaman..
Kebiasaan buruk mulai menggantikan..
Hmm. ketika Pelacur dipermanis menjadi PSK
Sudah ketahuan berzina masih jadi Pembawa Acara..
Ketika UU Pornogarafi dan PornoAksi dibilang mengekang Hak Azazi..
Sungguh Ironi..
Hallo para Produser..masih banyak Artis dan Presenter baik di negeri ini..
Hallo KPI dan KPID..kok anda tidak punya nyali?

Ketika Maling Harta Rakyat dibilang Korupsi
Dari yang sudah ketahuan sampai yang masih dicari-cari.
Apakah hukuman mati pantas untuk dijajaki?

Ketika kumpul kebo dibilang hidup bersama...
dengan bangga masih hadir di layar kaca.
Dasar si Pembuat Berita..
Cari makan untuk anak dan keluarga..?

Ketika..dan ketika..
Masih banyak lagi yang sudah mulai tidak beretika..

Hmm..ketika buku tidak lagi menjadi bacaan..
Ketika sejarah mulai dilupakan..
Ketika guru tidak lagi diacuhkan..
Ketika orangtua sudah tidak didengarkan..
Dan tontonan TV serta Internet lebih mudah untuk mengajarkan..
Ketika Ayah atau Ibunya besmesraan tanpa ikatan..
Apalah yang lebih diperbuat nanti oleh anak mereka..?

Sungguh..
Ini memang Zaman Edan..

Wahai..para Pemimpin zaman..
Tak sadarkah engkau..
Bahwa semua ini harus dipertanggungjawabkan..

Lalu sekecil apapun peranmu sekarang ini..
Jika engkau memang pemimpin..
Maka pimpinlah diri dan keluargamu terlebih dulu..
Walau mengajak kebenaran itu memang tidak mudah..
Tapi mudah-mudahan kita mendapat Hidayah..
Tahu apa yang akan membawa musibah atau berkah..
Buat diri sendiri ataupun Negara ini..

Sungguh pekerjaan yang tak kenal lelah..
Maka marilah kita kembali ke Jalan Allah..

Monday, September 5, 2011

Yang tertinggal dari Panitia Lomba Baca Puisi dan Cerpen 2010

Ada 2 puisi lagi yang belum tertuliskan..

TERIAKAN HATI
Karya : Ani Sasmita

Gemuruh teriakan rakyat
Menggema mengiringi langkah mereka
Turun ke jalan tanpa ada kepastian
Menunggu keadilan yang tidak kunjung datang

Wahai para pemimpin
Pandang kami
Wahai para penguasa
Lihat derita dan linangan air mata
Menyelimuti hati dan jiwa kami
Turun dan basah
Membasahi bumi pertiwi
Karena hati dan jiwa kami dijajah

AIR MATA DARAH
karya : Harlisman Fasha

Tangis apalagi yang akan kita pekikkan
Setelah airmata tumpah di tangan mereka
Lalu masuk ke kantung para cukong
Sementara,
Kita semakin terseok di sudut jalanan
Di bawah keangkuhan gedung-gedung menjulang
Yang dulu pusara bunda

Tangis apalagi yang akan kita pekikkan
Kala asap kematian memancar dari cerobong-cerobong pabrik
Nafas kita pun kian sesak dan kuping kita jadi pekak
Hingga mata kita menjadi kabur menatap kebenaran
Yang sah diperjualbelikan
Sementara,
Kita terus berdiri makin ke pinggir
Ke tepi kali-kali yang tak berikan lagi


Komentarku :

Ini adalah 2 buah puisi yang sekarang baru ada waktu menuliskannya.
Saat menjadi Sekretaris Panitia Aku pilihkan beberapa puisi dan cerpen pada Lomba Baca Puisi dan Cerpen.. yang diangkat oleh Komunitas Sastra dan Teater HATTA, dalam rangka PEDATI  Bukittinggi 2011.Peserta yang berjumlah 100 orang datang dengan sangat antusias dan semangat yang berapi-api walau cuaca agak gerimis, mereka bertahan dari pagi sampai sore hari selama 2 hari. Luar biasa...

Kedua puisi ini juga sudah pernah aku baca di acara Puisi RRI...
Aku suka dengan puisi yang bernada semangat, perjuangan, keagamaan dan renungan...
Nah sekarang ..Coba aja dech ekspresikan sendiri kata2 tersebut dalam gerak dan pahami maknanya dalam2, sehingga orang yang mendengarpun ikut hanyut di dalamnya...

Thursday, August 11, 2011

Puisi dan Lagu

"Awalnya ini adalah puisi untuk mengenang almarhumah ibuku..
Sudah lama ingin menjadikannya lagu.
tapi baru muncul inspirasi ketika ada pertemuan Penulis dan Penyair

Dari lantunan lagu Muhammad Jujur yang syahdu... bakat masa kecilku mencipta irama lagu mulai tergugah..






ketika gitar lama mulai kuutak atik lagi...
Alhamdulillah ...Akhirnya jadi juga.. "

 

 

Dalam Kenanganmu IBU

Saatku terlahir ke dunia,
Sebelumnya aku
adalah bagian darimu ibu
Saatku mulai melihat
yang kulihat wajah ibu
Saatku mulai mendengar,
yang kudengar suara ibu
Saatku mulai menangis
yang mengerti bahasaku
hanyalah ibu

Ibu..
Sungguh tak bisa kulupakan jasamu
Saat sekarangpun
Saatku menjadi seorang ibu
Baru kutahu
semua bebanmu
Yang selalu tulus ikhlas mendoakanku
Dan mendukung semua asaku

Saat ini..
Walau engkau
sudah berada jauh disana
Namun
yakinlah...
Semua ini..
Kupersembahkan
hanyalah ...
untukmu ibu

Mengenang 5 tahun berpulangnya Mama Tersayang "Vitrawaty

Sunday, July 24, 2011

Satu Catatan dari Rumah Puisi..Taufik Ismail

Berkunjung untuk kedua kallinya di lokasi yang sangat nyaman berada di Aie Angek Cottage ..Rumah Puisi..Taufik Ismail...saat diundang untuk acara Temu Penulis dan Penyair Sumara Barat.
Rumah yang benar2 bernuansa puisi. seluruh dinding atas rumah bertuliskan Puisi2 taufik Ismail dan Orang2 Terkenal. sementara itu, disitu juga terdapat buku2 Taufik Ismail yang bisa dikatakan pustaka sastra. Rumah Puisi terbuka buat siapa saja, berdiskusi atau membahas sastra serta menghasilkan karya. Setiap orang boleh membacanya atau memfotocopy jika mau dibawa pulang.
Di usia beliau yang sudah 76 tahun, beliau tetap komit untuk membuat Indonesia menjadi negara penulis dan pembaca, termasuk disana membaca sastra dengan bersafari keliling Indonesia. Luar Biasa.



TANAH AIRMATA

oleh : Sutardji Calzoum Bachri


Tanah airmata tanah tumpah darahku
Mata air air mata kami
Airmata tanah air kami

Disinilah kami berdiri
Menyanyikan airmata kami

Di balik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Di balik etalase gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami

Kami coba simpan nestapa kami
Kami coba kuburkan dukalara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana

Bumi memang tak sebatas pandang
Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Kemanapun melangkah
Kalian pijak airmata kami
Kemana pun terbang
Kalian kan hinggap di airmata kami
Kemanapun berlayar
Kalian  arungi airmata kami

Kalian sudah terkepung
Takkan bisa mengelak
Takkan bisa kemana pergi
Menyerahlah pada kedalaman airmata kami

Thursday, June 16, 2011

BUNG HATTA DALAM BINGKAI SEJARAH, SOSOK TELADAN PEMIMPIN BANGSA

”.......
Bumi tak pernah menyudahi membuka tangan bagi perjuanganmu
meski sejarah bagai debu yang melekat di sayap burung
dan engkau menjadikan kemerdekaan negeri begitu berarti
bagi generasi kami yang tengah belajar menulis dan membaca
Engkau adalah buku, berbab-bab dalam zaman yang tak pernah habis.
            cahaya siang yang selalu ada di tengah malam
            seperti air yang mengalir dari bukit yang tinggi,
            engkau tak ingin menjadi awan di langit,
            engkau justru turun ke lembah yang paling rendah,
            menyalami rumput-rumput yang tergusur dari kehidupan duniawi
            ..........”
Membaca dua bait puisi karangan Endang Supriadi , memberikan makna yang sangat dalam bagi kita semua. Di negara yang miskin teladan kepemimpinan ini sepertinya tak sanggup lagi untuk berharap hadirnya pemimpin-peminpin baru yang “berani” memperjuangkan hati nurani.
Di tengah tantangan zaman dan rutinitas kehidupan yang semakin berat serta  munculnya krisis multidimensi  dimana-mana, pengenalan terhadap sosok Bung Hatta baik melalui buku, puisi, dan lagu adalah siraman air sejuk yang mendamaikan kegersangan jiwa kita akan kerinduan terhadap sosok pemimpin idola.
109 tahun yang lalu, pada tanggal 12 Agustus 1902 di Aur Tajungkang Tengah Sawah Bukittinggi, Sumatera Barat, lahirlah seorang Putra Minang, yang berasal dari sebuah keluarga, dimana ayahnya turunan ulama dan ibu turunan saudagar. Putra ini  diberi nama Mohammad Hatta. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Hatta kecil sudah menjadi yatim, ayahnya meninggal pada saat beliau berusia delapan bulan. Kepribadiannya yang bersinar telah nampak sejak dia kecil. Kedisiplinannya terhadap waktu menjadi penanda bagi masyarakat sekitarnya bahwa “Orang Bukittinggi tidak membutuhkan arloji, cukup melihat kapan Hatta pergi sekolah, pulang sekolah dan pergi mengaji”.
Sosok Bung Hatta adalah seorang yang taat beragama, disiplin dan tegas, tetapi tetap menghargai pendapat orang lain. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Beliau giat dalam pembentukan karakter dan mendidik kader-kader untuk disiplin terhadap waktu, mengatur keuangan dan pekerjaan. Ketika beliau memperjuangkan nasib rakyat Indonesia, walaupun berkali-kali dibuang dan diasingkan, para pengganti beliau tetap bisa melanjutkan perjuangan.
Bung Hatta dikenal sebagai sosok yang rajin membaca buku apa saja, sehingga ilmunya tidak terbatas kepada ekonomi, sosial dan politik saja, tetapi juga banyak mempunyai buku sastra. Tak heran jika hiburannya adalah menenggelamkan diri berjam-jam di antara rak-rak buku. Koleksi bukunya amat banyak, dan siapapun yang meminjam harus meletakkan kembali ke tempat semula.
Selain membaca, beliau juga menjadi penulis dan memberikan pidato untuk membangkitkan semangat rakyat pada saat berkunjung ke daerah-daerah di wilayah Indonesia, bahkan berpidato mewakili Indonesia di luar negri. Ketegasan beliau juga dapat kita ketahui saat berpidato di depan rakyat sehingga membuat merah muka tentara Jepang.
Sebagai seorang penulis banyak buku-buku beliau yang telah diterbitkan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan pemikiran-pemikiran beliau pada saat berada 11 tahun di Belanda diterbitkan oleh penerbit disana dan mendapatkan honor yang banyak pada waktu itu.  Dengan uang itu beliau beserta keluarga dapat naik haji dan menolak untuk memakai uang pemerintah. Alasannya karena beliau ingin ke Mekkah sebagai rakyat biasa sama seperti orang Islam lainnya.
Di zaman penjajahan Belanda, Bung Hatta berkali-kali mengalami penangkapan dan pembuangan oleh pemerintah Belanda, antara lain ke Tanah Merah, Digul, Banda Neira, kemudian ke Sukabumi, sebelum Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942.
Pada dasar penangkapan dan pembuangan Bung Hatta disebabkan oleh penolakannya atas bujukan Belanda untuk bekerja sama walaupun digaji dengan uang yang sangat besar.
Beliau juga adalah sosok yang tidak membedakan orang dalam disiplin waktu. Suatu saat seorang duta besar ingin bertemu dengan beliau. Namun pada hari dan waktu yang ditentukan, duta besar tersebut baru datang setelah ditunggu lebih dari 30 menit. Beliau tidak ingin lagi menemuinya dan duta besar itupun menjadi malu karena keterlambatannya
Bung Hatta adalah seorang sosok pemimpin yang semua ucapannya sesuai dengan tindakannya. Di saat beliau menjabat sebagai seorang Wakil Presiden, beliau tetap seorang Demokrat, teguh dan konsekuen dalam pemikirannya, serta jujur dan tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Kunjungan beliau hampir ke seluruh wilayah Indonesia tidak saja di kota-kota besar, namun beliau juga sampai ke tempat terpencil dan pedalaman, baik pada saat beliau menjadi Wakil Presiden ataupun tidak (karena mengundurkan diri sebab tidak sepaham dengan Bung Karno).
Suatu kisah yang perlu kita teladani sebagai putra bangsa adalah saat beliau diajak ke Digul untuk melihat kembali tempat pembuangan beliau. Beliau menolak untuk menerima uang saku dan meminta untuk disimpan dulu, karena uang tersebut adalah uang rakyat. Sampai disana, beliau melihat kondisi rakyat tersebut lebih menyedihkan dibanding waktu dulu. Banyak rakyat yang sakit karena daerah tersebut terpencil dan  susah dilewati. Karena harus melintasi sungai yang dihuni oleh buaya-buaya buas, terkadang bantuan obat-obatan tidak sampai kesana. Saat itu beliau berfikir untuk menyerahkan uang saku tersebut kepada penduduk disana sambil berkata : ”Ini adalah uang rakyat, sekarang sudah kembali ke tangan rakyat”.
Ketika menjadi seorang pengajar di beberapa Universitas seperti UGM, UI, UNPAD dan UNHAS, beliau menolak memakai fasilitas yang berbeda dengan dosen lainnya. Beliau juga pernah mengajar di Hawai selama 6 bulan, dan menguasai Bahasa Inggris, Belanda , Jerman dan Prancis.
Bung Hatta juga dikenal sebagai seorang pemimpin sejati yang pikirannya selalu berorientasi pada rakyat. Banyak sekali tulisannya tentang perjuangan dan cita-cita Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Menurut beliau ”Rakyat adalah badan dan jiwa bangsa, dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajat kita. Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita turun. Dan demokrasi dapat berjalan kalau diiringi dengan rasa tanggung jawab”.
 Sebagai bangsa Indonesa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya dalam mewujudkan Indonesai Merdeka, sudah sewajarnya bagi kita semua untuk membaca riwayat dan kisah perjuangan mereka. Tidak mudah Merdeka dari ratusan tahun dijajah secara ”fisik, mental maupun akal”. Kemerdekaan ini adaah Rahmat Tuhan yang Maha Kuasa. Usia kemerdekaan yang  ke-66 tahun ini, janganlah kita dustakan dan sia-siakan. Bung Hatta menginginkan rakyat Indonesia menjadi cerdas serta berperan di Bidang Ekonomi. Sebagai seorang Ekonom beliau mengatakan bahwa Koperasi lebih cocok untuk kemajuan perekonomian bangsa Indonesia.
            Selain itu hasil pemikiran beliau dapat kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 1 ayat 2, pasal 27 ayat 2, pasal 28, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34. Cita-cita beliau ingin menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, seharusnyalah juga dipunyai oleh setiap pemimpin di negeri ini, dari tingkat paling rendah sampai yang paling tinggi. Pancasila yang memuat nilai-nilai kegamaan, kemanusiaan, persatuan bangsa, kerakyatan dan musyawarah serta berkeadilan sosial harus kita terapkan.
            Sebagai penghargaan terhadap jasa beliau, pada tanggal 15 Agustus 1972,  Presiden Soeharto menyampaikan anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi kepada Bung Hatta yaitu "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara
Pada tanggal 10 Februari 1975, beliau membuat surat wasiat yang membuat kita terharu yang berisi :
“Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamirkan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya hanya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya”.
Sang Proklamator menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 14 Maret 1980. Beliau meninggal di Jakarta dalam usia 77 tahun. Sesuai pesan beliau akhirnya beliau dikuburkan keesokan harinya di Tempat Pemakaman Umum, Tanah Kusir, Jakarta. Seiring dengan kepergian beliau sayup-sayup kita teringat tentang sepenggal lagu Iwan Fals :
 ”Hujan air mata dari pelosok negri
Saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa .
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu”
Bung Hatta, satu abad telah berlalu sejak kepergianmu. Namun bangsa ini masih saja menghasilkan generasi yang kerdil. Setiap hari negara ini selalu memberitakan dan mempertontonkan citra pemimpin yang bejad, pemimpin yang lahirnya dielukan tapi berakhir dengan keserakahan, ketidakjujuran, kediktatoran dan ketidaktegasan. Namun Engkau beda, sosok pemimpin yang langka , tanpa cela. Hampir tidak ada ruang sedikitpun untuk mencari kekuranganmu. Mungkin saja Engkau sedang menangis dalam kemarahan menyaksikan bangsa ini. Pribadi bangsa yang ramah, gotong royong dan berbudaya, sudah mulai pupus sedikit demi sedikit. Serangan penjajah dalam bentuk lain telah masuk mengacak-acak negeri yang  sudah tergadai ini. Bukannya maju dalam hal pemikiran dan perbuatan, tapi malah mundur dalam peradaban. Ketika ada yang berjuang menegakkan keadilan, segera saja dia lenyap tak berbekas. Ketika banyak rakyat yang menjerit dan menderita dalam kemiskinan dan ketidakadilan, sementara itu  pemimpinnya masih sibuk saja beretorika. Ironis memang.
Sekarang Sang Proklamator telah tiada. Sang negarawan yang merakyat, sulit dicari tandingannya. Bung Hatta, Indonesia bangga mempunyai seorang pemimpin yang tegas, jujur, sederhana dan bijaksana sepertimu. Engkau merupakan sosok teladan dan inspirasi bagi rakyat Indonesia. Engkau tidak hanya kaya dengan ilmu, tapi juga kaya dengan hati dan berani dengan iman yang kuat. Kami rindu dengan sosok pemimpin yang mempunyai kepribadian  yang amanah dan fatanah sepertimu.
Kemerdekaan memang sudah kita capai, namun perjuangan tidak akan pernah selesai. Kami juga ingin mengisi setiap ”Nafas” Arti kemerdekaan yang telah engkau perjuangkan. Terkadang kami lupa, bahwa bangsa ini lahir dari penderitaan dan darah, beratus tahun dijajah, sehingga terlena di bawah panji kebesaran pahlawannya. Walau banyak generasi muda yang lahir dan berprestasi Internasional sepertimu, kami berharap semoga saja mereka juga berani memperjuangkan nasib bangsanya sendiri, dan tetap menjunjung harga diri. Meski di negri ini, kita masih punya sejuta pemuda dan pemimpin  yang mempunyai hati nurani. Semoga saja antara pemimpin dan rakyatnya merupakan suatu barisan yang dapat bekerja sama dan sama-sama bekerja, dalam membiasakan yang benar dan tidak lagi membenarkan kebiasaan.
Kita semua bisa bersatu dalam membentuk generasi penerus sekaligus pelurus bangsa, menjadi intelektual yang profesional dan memiliki emosional yang handal. Suatu peran yang amat mulia jika kita berada di dalamnya. SEMOGA.

             












Sunday, May 29, 2011

Rimba Yang Kesepian

karya : Iyut Fitra

kotaku jadi biru ketika kau datang (tenang...sambil  melihat sekeliling)
suatu ketika senja merah di ladang-ladang di lelahan kalah (mimik berubah, sedih dan kecewa...diiringi suara)
tak sempat kusuruk duka
kawanan burung menangis di matamu. aku rimba ( suara yang tertahan karena menangis)
yang kesepian,
katamu berusaha mencatat angin, di sela dahan ranggas. hanya
desir ngilu (mengenang kembali)
bagai kekasih-kekasih bermimpi
dalam lengang

lalu kucerita rangkap nasib sebelum tepi-tepi hari. sepintal
senyum yang tak selesai
betapa kecut
seolah harapan hanya ada di dada pengembara
lalu kubayangkan tepian. semusim dulu pernah singgah
kita bocah pemuja bunga rumput. kekanak nakal memburu capung (mimik & suara mengenang gembira)
dan berjanji di setiap sore hari
kelak, di bulan-bulan jingga, kita kan menikah di tepi sungai
hanyut sebelum malam
dalam upacara jalin bunga

namun betapa waktu terasa cepat tua (terkejut)
kotaku tak lagi biru
hanya lelamat kepedihan. ketika kau tuju rimba yang jadi abu














Tanda baca yang dibuat iyut fitra tidak beraturan, namun kita harus menambah koma yang pas untuk memberikan jeda dan pemahaman lagi terhadap puisi tersebut, dan aku masukkan tips untuk mimik dan suara yang berbeda dengan warna biru.

Komentarku :
Wah...sudah lama juga nggak ikut lomba baca puisi..aku niat tampil karena memang jadwal ngajarku nggak dempet. WAlau ketika aku datang ikut lomba ada juga yang nyangka kalau aku jadi jurinya, ehh..ternyata jadi peserta...ya sutralah..lagi mood nich...sudah pengen juga untuk dikritik juri...hi..hi..

Ini puisi Iyut Fitra yang lain, sebenarnya maknanya agak sulit untuk dipahami..
tapi dari 2 buah puisi lain yang dilombakan yaitu : Malin Kundang dan Rumah Berpintu Lima, aku prefer sama puisi Rimba Yang Kesepian ini.

DApat puisinya 1 hari sebelum lomba, nekat...trus...rencananya mau lihat peserta lain tampil duluan untuk mencari inspirasi, nah lo..ternyata aku dipanggil di urutan ketiga...
Alhasil tampil semaksimal mungkin dengan apa adanya, yang penting "penghayatan maksimal" batinku..

Selesai tampil, penonton tepuk tangan dengan meriah, banyak yang menyalami, dan bilang,,,bagus2...
he..he..aku juga nggak nyangka...tapi aku tahu peserta2 lain masih banyak sesudah aku...lebih banyak yang berpengalaman menang lomba bertahun2 ..termasuk ibu2 lain  yang seusiaku dan pelajar lain...mereka udah lama jadi macannya lomba puisi.

Yah ..walaupun nggak menang, tapi dari penjelasan juri, nilai kami semua beda2 tipis.
Bagiku tak masalah..buat cari pengalaman saja...tapi  teman2 ada juga yang kecewa aku kok nggak dapat, aku "maklum saja"..karena lain jurinya..lain juga penilaiannya....